Rabu, 21 Mei 2025

 Konotasi Ilmu dalam Prespektif Filsafat Ilmu

Najwa Almira Rachman
KPI 2E / 1860304241012.



      Pada pertemuan kali ini, dosen kami menerangkan materi terkait pengertian pemahaman ilmu dalam kacamata filsafat ilmu. lmu, sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh upaya sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai aspek realitas di alam manusia. Aspek-aspek tersebut dibatasi untuk menghasilkan formula yang pasti. Ilmu memberikan kepastian untuk membatasi ruang lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu yang diperoleh dari keterbatasan.

    Menurut filsafat ilmu, mengartikan ilmu dengan 3 konotasi, 3 konotasi ini biasanya disebut dengan trilogi ilmu, meliputi : 

1. Ilmu sebagai Proses 
    Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teleologis. 
A. Rasional
       Aktivitas rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk menalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Ilmu menampakkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak.

B. Kognitif 
          Pada dasarnya ilmu adalah sebuah proses yang bersifat kognitif, bertalian dengan proses mengetahui dan pengetahuan. Proses kognitif (cognition) adalah suatu rangkaian aktivitas seperti pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran (antara lain) yang dengannya manusia dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu hal.
Menurut Piaget menyatakan bahwa di dalam diri individu terjadi adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

C. Teleologis
     Ilmu selain merupakan sebuah proses yang bersifat rasional dan kognitif, juga bercorak teleologis, yakni mengarah pada tujuan tertentu karena para ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ilmu melayani sesuatu tujuan tertentu yang diinginkan oleh setiap ilmuwan. Dengan demikian, ilmu adalah aktivitas manusiawi yang bertujuan. Tujuan ilmu itu dapat bermacam-macam sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing ilmuwan. 

2. Ilmu sebagai Prosedur 
   Melalui metode ilmiah yang bersifat prakteik/praktis. Penelitaian sebagai suatu rangkaian aktifitas mengandung prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan pola ini dalam dunia keilmuan disebut metode, untuk menegaskan bidang keilmuan itu seringkali dipakai istilah “metode ilmiah”. Jadi, Ilmu sebagai prosedur atau ilmu sebagai metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknik untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, bisa dikatakan ilmu sebagai prosedur berarti ilmu merupakan kegiatan penelitian yang menggunakan metode ilmiah.

3. Ilmu sebagai Produk
    Ilmu seagai produk ini adalah hasil dari proses dan prosedur. 

Pada intinya, Ilmu hanya terdapat dan dimulai dari aktivitas manusia, sebab hanya manusia yang memiliki kemampuan rasional dalam melakukan aktivitas kognitif yang menyangkut pengetahuan, dan selalu mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu.

Sabtu, 17 Mei 2025

 Mimpi dalam Prespektif Psikologi Islam

Part 2

Najwa Almira Rachman 
KPI 2E / 1860304241012


    
        Secara umum, mimpi adalah pengalaman yang terjadi saat seseorang tidur. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis (Yuwono, 1994), mimpi adalah sesuatu yang dialami seseorang pada waktu atau saat tidur. Dalam pandangan psikologi, Nir dan Tononi (2009) menyatakan bahwa mimpi merupakan pengalaman psikologis yang terjadi dalam tidur seseorang, menunjukkan bagaimana otak yang tidak terhubung dengan lingkungan sekitarnya dapat menciptakan kondisi dunia sadar secara mandiri. Chaplin (dalam Nashori & Diana, 2005) menambahkan bahwa mimpi adalah deretan tamsil dan ide yang saling bertalian dan berlangsung selama tidur, di bawah pengaruh obat bius, atau dalam kondisi hipnotis.

    Dalam Islam, mimpi disebut "ru’ya" yang berarti sesuatu yang dilihat manusia dalam tidurnya. Al-Ushaimy mengartikan mimpi sebagai serangkaian keyakinan dan pemandangan yang ditransfer Allah ke dalam hati hamba-Nya melalui malaikat atau setan. Ibnu Khaldun memandang mimpi sebagai kesadaran yang timbul dalam jiwa rasional sebagai percikan dari bentuk-bentuk peristiwa spiritual. Al-Jauziyah menyatakan bahwa mimpi merupakan permisalan yang dibuat malaikat agar orang bermimpi dapat mengambil petunjuk dari gambaran tersebut. Dalam konteks psikologi modern, mimpi dianggap sebagai hasil dari aktivitas otak yang acak. Hobson mengungkapkan bahwa mimpi melibatkan persepsi dan kepercayaan yang merupakan hasil spontanitas dari kegiatan otak yang acak. Meskipun demikian, pandangan ortodoks Freudian masih memandang mimpi sebagai bentuk kegiatan mental yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, mimpi merupakan fenomena kompleks yang melibatkan aspek biologis, psikologis, dan spiritual, mencerminkan interaksi antara alam sadar dan bawah sadar manusia.

    Menurut Sigmund Freud, stimulus dan sumber dari kemunculan sebuah mimpi ada 4, yaitu: 

  1. External Sensory Stimuli (Rangsangan Sensorik Eksternal)
    Ini adalah rangsangan dari lingkungan sekitar yang memengaruhi mimpi saat tidur. Contohnya, suara alarm jam bisa masuk ke dalam mimpi sebagai suara lonceng atau suara lain yang sesuai dengan konteks mimpi. Freud menyatakan bahwa tubuh kita tetap peka terhadap rangsangan eksternal meskipun sedang tidur, dan otak dapat menggabungkan rangsangan ini ke dalam narasi mimpi.

  2. Internal (Subjective) Sensory Excitations (Rangsangan Sensorik Internal Subjektif)
    Rangsangan ini berasal dari dalam tubuh dan tidak disebabkan oleh faktor eksternal. Misalnya, saat mata tertutup dan kita melihat pola cahaya atau warna, atau mendengar suara-suara dalam keheningan. Freud menyebut fenomena ini sebagai "halusinasi hipnagogik", yaitu gambaran visual yang muncul saat kita mulai tertidur.

  3. Internal Organic Somatic Stimuli (Rangsangan Somatik Organik Internal)
    Ini berkaitan dengan kondisi fisik atau organ dalam tubuh yang memengaruhi mimpi. Contohnya, seseorang yang mengalami masalah pencernaan mungkin bermimpi tentang situasi yang tidak nyaman. Freud percaya bahwa sensasi dari organ tubuh dapat memengaruhi isi mimpi dan bahkan membantu dalam mendiagnosis kondisi kesehatan tertentu.

  4. Psychical Sources of Stimulation (Sumber Rangsangan Psikis)
    Sumber ini berasal dari pikiran, keinginan, atau konflik batin yang tidak disadari. Freud menekankan bahwa banyak mimpi merupakan manifestasi dari keinginan yang terpendam atau konflik internal yang belum terselesaikan. Mimpi menjadi cara bagi pikiran bawah sadar untuk mengekspresikan keinginan atau ketakutan yang tidak dapat diungkapkan secara langsung saat sadar.

Dengan memahami keempat sumber ini, Freud menjelaskan bahwasannya mimpi bukan sekadar fenomena acak, melainkan hasil dari interaksi antara rangsangan fisik dan psikis yang kompleks. mimpi dalam psikologi Islam adalah sebuah hal yang diakui keberadaannya karena terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam yang tentunya memiliki fungsi dan tujuan, bahkan mimpi adalah bagian dari kenabian yang merupakan wahyu yang pertama seperti yang dikatakan oleh Ummul mukminin`Aisyah ra.

  














Jumat, 09 Mei 2025

 Konsep Mimpi dalam Studi Komparasi Psikologi Islam Serta Kaitannya dengan Filsafat Ilmu 

By : Najwa Almira Rachman 
KPI 2E (1860304241012) 


    Bagi sebagian orang, mimpi hanyalah dianggap sebagai bunga tidur semata. Tapi, pada dasarnya mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dan sejarah pun menunjukan bahwa sejak beribu-ribu tahun lamanya, banyak manusia yang menaruh perhatian besar terhadap mimpi. Mimpi menjadi pembahasan yang cukup serius dari sebagian orang dan menjadi bagian dari kajian ilmiah setelah seorang ahli psikoanalisis Sigmund Freud dengan teori psikoloanalisisnya menjelaskan topik mimpi. Menurutnya, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi merupakan sebuah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang yang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Dengan begitu, mimpi dapat dirancang sesuai keinginan. Mimpi sebagai  suatu hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan suatu yang dipikirkan atau diinginkan seorang individu. Pembahasan Mimpi ini akan dikaji lebih dalam dengan ilmu psikologi, Namu, bagaimana kaitannya dengan Filsafat Imu? 

    Perlu kita rekontruksi kembali bahwasannya Filsafat Ilmu memiliki 3 cabang ilmu yakni, Ontologi, Aksiologi, dan Epistemologi, dimana ke tiga cabang ilmu tersebut sudah diaparkan pada penulisan sebelum-sebelumnya. Dari ke tiga cabang filsafat ilmu tersebut, Ontologi lah yang memiliki keterkaitan dengan mimpi. Keterkaitan antara mimpi dan ontologi terletak pada bagaimana mimpi menantang pemahaman kita tentang hakikat realitas dan keberadaan. Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang "apa yang ada", berusaha menjawab pertanyaan mengenai struktur dasar dari kenyataan. Mimpi menjadi fenomena yang menarik secara ontologis karena dalam kondisi bermimpi, seseorang mengalami realitas yang tampak nyata, meskipun pengalaman itu tidak memiliki keberadaan fisik dalam dunia empiris. dengan begitu mencatat sebuah adegan dalam mimi adalah hal yang cukup penting, mengaa demikian? 

    Dengan mencatat mimpi, seseorang dapat mengamati pola, simbol, atau tema yang berulang, yang bisa memberikan wawasan mendalam tentang kondisi emosional dan psikologisnya. Ini juga membantu dalam proses refleksi diri dan pertumbuhan pribadi. Dari sudut pandang filosofis, mencatat mimpi bisa menjadi cara untuk mengeksplorasi batas antara kenyataan dan ilusi, serta mempertanyakan bagaimana kesadaran bekerja.

    Dari jurnal yang telah di bagikan oleh dosen kami, Mimpi dalam perspektif psikologi Islam memiliki makna dan fungsi yang jauh lebih luas dibandingkan pandangan psikologi Barat. Dalam Islam, mimpi tidak hanya dianggap sebagai produk bawah sadar, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi spiritual yang dapat bersumber dari ilham ilahi atau wahyu. Mimpi bisa menjadi kabar gembira, ujian keimanan, petunjuk dari Allah, bahkan bagian dari kenabian. Oleh karena itu, mimpi dalam konteks Islam memiliki kedudukan yang mulia dan bisa menjadi sumber inspirasi serta pendorong spiritual bagi individu.

    Secara psikologis, baik dalam pandangan Barat maupun Islam, mimpi berkaitan erat dengan kondisi mental dan emosional seseorang. Freud dan para pengikutnya memandang mimpi sebagai manifestasi konflik batin dan keinginan bawah sadar. Sementara psikologi Islam menekankan bahwa mimpi dapat muncul karena aktivitas ruh yang menjelajahi alam arwah saat tidur, sehingga bisa memperoleh informasi atau pengalaman non-fisik yang berdampak pada akal dan jiwa manusia. Dalam hal ini, mimpi juga dapat memengaruhi perilaku, emosi, dan kesehatan mental seseorang secara signifikan.

    Dari sudut pandang spiritual dan ilmiah, mimpi memiliki fungsi diagnostik dan simbolik yang mendalam. Mimpi dalam Al-Qur’an dan hadis sering kali membawa pesan penting yang memengaruhi tindakan manusia dalam kehidupan nyata, sebagaimana terlihat dalam kisah para nabi. Kualitas mimpi, baik yang bersifat positif maupun negatif, diyakini berkorelasi dengan kondisi spiritual dan moral individu. Dengan demikian, pemahaman terhadap mimpi bukan hanya relevan dalam kajian psikologi dan keislaman, tetapi juga dalam upaya memahami diri secara lebih utuh dan transendental.

 






  TEORI KOMUNIKASI  Najwa Almira Rachman  1860304241012 Teori Komunikasi Intrapersonal  Regulasi Diri  Pada penjelasan kali ini, saya akan m...